loader
  • pocketlegals@gmail.com
  • 021-50667780
  • Chinese (Simplified)EnglishFrenchIndonesianMalay

 99 total views,  1 views today

Pocketlegals.com – Pernikahan dianggap sebagai perintah agama yang bertujuan untuk menjalankan ibadah dan mendekatkan diri kepada sang pencipta. Seluruh agama menganggap pernikahan sebagai hal yang sakral, diatur secara teknis dan prosedural oleh negara untuk memberikan kepastian dan perlindungan kepada para pihak yang melangsungkan perkawinan.

 

Salah satu aspek yang diatur oleh negara terkait pernikahan adalah batasan usia. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU 16/2019) mengatur bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun. Tetapi bagaimana jika pernikahan melibatkan pasangan usia dini?

 

Menurut undang-undang, perkawinan yang melibatkan calon suami/istri di bawah 19 tahun pada dasarnya tidak dibolehkan. Bahkan, jika calon mempelai belum mencapai usia 21 tahun, izin dari kedua orang tua diperlukan untuk melangsungkan pernikahan (Pasal 6 ayat (2) UU Perkawinan).

 

Meskipun demikian, Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019 membuka peluang adanya penyimpangan terhadap ketentuan umur 19 tahun tersebut. Orang tua calon mempelai dapat meminta dispensasi kepada pengadilan dengan alasan yang sangat mendesak, disertai bukti-bukti pendukung yang memadai. Alasan sangat mendesak didefinisikan sebagai keadaan di mana tidak ada pilihan lain dan perkawinan harus dilangsungkan sesuai dengan Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019. Permohonan dispensasi diajukan ke Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri untuk yang beragama selain Islam (Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019). Pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan (Pasal 7 ayat (3) UU 16/2019).

 

Dengan demikian, secara hukum, pernikahan dini masih dimungkinkan tetapi harus memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana telah dijelaskan di atas. Namun, perlu diingat bahwa persoalan psikologis juga harus turut dipertimbangkan dalam pernikahan usia dini untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

 

Menurut psikolog Anna Surti Ariani, atau akrab dipanggil Nina, membiarkan pernikahan dini adalah bentuk kekerasan terhadap anak. Anak di bawah 21 tahun masih belum siap secara fisik, kognitif, bahasa, sosial, dan emosional untuk menikah. Keadaan ini dapat menimbulkan risiko kesehatan, kesulitan dalam menyelesaikan masalah pernikahan, keterbatasan sosial, dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan.

 

Nina menyarankan bahwa usia matang untuk menikah adalah 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Hal ini sesuai dengan program Pendewasaan Usia Perkawinan dari BKKBN. Selain itu, edukasi tentang bahaya pernikahan dini perlu diberikan kepada anak-anak dan masyarakat secara luas. Payung hukum yang jelas dari pemerintah mengenai pembatasan usia minimal untuk menikah juga sangat penting sebagai langkah preventif.

 

Pernikahan adalah ikatan suci yang membutuhkan kesiapan fisik dan mental. Oleh karena itu, selain mematuhi aturan hukum yang berlaku, pernikahan juga harus dipersiapkan dengan matang, mempertimbangkan aspek-aspek psikologis, sosial, dan kesehatan. Dengan begitu, pernikahan dapat menjadi langkah yang dijalani dengan penuh kesadaran dan kesiapan menuju kehidupan baru yang bahagia.