6,042 total views, 1 views today
Pocketlegals – Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya.
Menurut Prof. Moeljatno, S.H. Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Sedangkan menurut Sudarsono, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.
Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan.
Tidak semudah yang dibayangkan menghukum seseorang, terdapat parameter yuridis yang harus dipenuhi oleh hakim. Unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan harus diyakini sempurna terpenuhi.
Ilmu hukum pidana mengenal istilah strafbaar feit yang artinya “perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, yang diancam dengan hukuman”. Jadi perbuatan yang dapat dihukum harus terkatagori sebagai strafbaar feit, karena tidak semua perbuatan dapat dipidana.
Perumusan Strafbaar feit menurut Simons, Strafbaar feit itu harus merupakan:
Perbuatan manusia; Perbuatan itu adalah “wederrechtelijke” (bertentangan dengan hukum); Perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggung jawabkan (toerekeningsvatbaar); Dan orang itu dapat dipersalahkan. Dari unsur di atas, yang dibahas kali ini mengenai “perbuatan itu dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan (toerekeningsvatbaar)” yang berkaitan dengan kondisi jiwa atau psikis pelaku yang dalam istilah Belanda disebut dengan toerekeningsvatbaarheid.
Kondisi jiwa pelaku yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana (dihukum) harus mengerti atau mengetahi akan nilai dari perbuatannya itu sehingga dapat mengerti akan akibat perbuatannya. Keadaan jiwa pelaku harus sedemikian rupa sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya. Pelaku juga harus sadar, insaf bahwa perbuatan yang dilakukan itu adalah perbuatan yang dilarang atau tidak dapat dibenarkan, baik dari sudut hukum, masyarakat maupun sudut tata susila. (Satochid Kartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah, Halaman 205).
Persoalan kondisi jiwa pelaku pada saat melakukan perbuatan pidana menjadi sangat penting untuk dikaji dan diuji di persidangan. Untuk itu dituntut pembuktian kondisi jiwa yang sakit atau sehat dengan sebenarnya sebelum dijatuhi hukuman. Tidak terpenuhinya kondisi jiwa yang sehat maka pelaku tidak dapat dihukum meskipun semua unsur pidana telah terpenuhi.
Pengidap gangguan jiwa atau Orang gila atau sakit jiwa tidak dapat dikatakan menyadari bahwa perbuatan yang dilakukan itu adalah perbuatan yang dilarang, baik dari sudut hukum, masyarakat maupun tata susila.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri mengatur hal itu di dalam Pasal 44 ayat (1) dan (2) yang menegaskan:
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Berkaitan dengan pasal tersebut, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Halaman 61 menerangkan; Terkait Pasal 44 KUHP, Soesilo menjelaskan bahwa dalam praktiknya jika polisi menjumpai peristiwa semacam ini, ia tetap diwajibkan memeriksa perkaranya dan membuat proses verbal. Hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu, meskipun ia dapat pula meminta nasihat dari dokter penyakit jiwa.
Menurut Satochid Kartanegara (Halaman 207), Guna menentukan, bilamana orang tidak dapat dipertanggung jawabkan terhadap perbuatannya itu maka dapat ditempuh beberapa cara yaitu: Biologis, yaitu dengan meninjau keadaan jiwa seseorang dan disamping itu meninjau hubungan antara perbuatan dengan jiwa si pelaku.
Berita terkait; Gangguan jiwa, Sidang Tuntutan Kompol Fahrizal Tidak Dapat Dipidana
Demikianlah cara yang ditempuh oleh Pasal 44 untuk menentukan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya, sedang cara itu merupakan gabungan dari kedua cara tersebut, oleh karena Pasal 44 ditentukan syarat:
Jiwa yang tumbuh kurang/tidak sempurna (gebrekkige ontwikkeling); Sakit ingatan (zeikeljke storng zinjner verstandelihke vermogens); Putusan Mahkamah Agung RI No. 2554 K /Pid.Sus/2011 menguatkan Putusan PN Bulukumba No. 16/Pid.B/2011/PN.BLK tanggal 20 April 2011 yang Menyatakan bahwa Terdakwa pada waktu melakukan perbuatannya tersebut dalam keadaan tidak mampu untuk bertanggung jawab oleh karena adanya gangguan jiwa dan melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum.
Berita terkait; Kasus Kompol Fahrizal; Polri Harus Berbenah
Untuk menilai bahwa seseorang benar-benar mengalami gangguan jiwa, diperlukan keterangan ahli kejiwaan yang dibuktikan di depan persidangan.
Meskipun tindak pidana yang dituduhkan kepada terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan namun terdakwa terbukti pula mengalami gangguan kejiwaan maka terdakwa tidak dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.