Penggusuran Tanpa Ganti Rugi dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Bagaimana Aspek Hukumnya? – pocketlegals Penggusuran demi pembangunan yang terus dilakukan oleh pemerintah di Indonesia merupakan isu yang mendalam dan memiliki dampak sosial serta hukum yang kompleks. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar apakah penggusuran, terutama tanpa memberikan ganti kerugian, terhadap permukiman padat dapat dianggap sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam konteks hukum Indonesia, istilah “penggusuran paksa” tidak secara eksplisit terdefinisi dalam instrumen hukum yang berlaku. Namun, menurut pandangan Committee on Economic, Social, and Cultural Rights, penggusuran paksa dapat diartikan sebagai pemindahan individu, keluarga, atau kelompok secara paksa dari tempat tinggal mereka tanpa perlindungan hukum yang memadai.
Dalam kerangka hukum HAM, setiap orang memiliki hak atas tempat tinggal yang layak, serta hak untuk tidak dipindahkan dari tempat tinggalnya secara paksa. Penggusuran tanpa memberikan akses pada bentuk perlindungan hukum yang sesuai dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak ini. Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia (UUD 1945) menegaskan hak setiap orang untuk memiliki tempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Penggusuran yang dilakukan untuk kepentingan pengadaan tanah untuk pembangunan seharusnya tunduk pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (UU 2/2012). UU 2/2012 mengamanatkan pemberian ganti kerugian yang adil dan layak kepada pihak yang terkena dampak penggusuran. Pemberian ganti kerugian dapat berupa uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lain yang disepakati.
Dalam kasus penggusuran tanpa ganti kerugian, Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dapat dijadikan landasan hukum untuk menggugat pemerintah. Gugatan dapat diajukan perorangan atau melalui perwakilan kelompok dengan memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (Perma 1/2002).
Kasus Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 192/PDT/2018/PT.DKI menegaskan pentingnya penggantian kerugian bagi individu atau kelompok yang mengalami penggusuran tanpa kompensasi yang layak. Putusan ini membebankan Tergugat untuk membayar ganti kerugian kepada para Penggugat sebagai akibat dari penggusuran yang tidak memberikan ganti rugi yang adil.
Penggusuran tanpa memberikan ganti kerugian yang layak dapat dianggap sebagai pelanggaran HAM karena bertentangan dengan hak asasi manusia untuk memiliki tempat tinggal yang layak. Perlindungan hukum dan pemberian kompensasi yang adil adalah prinsip yang harus dipegang teguh dalam setiap tindakan penggusuran. Masyarakat dan pemerintah harus bekerja sama untuk mencari solusi yang sesuai dengan hukum dan prinsip keadilan demi kepentingan bersama.